Saat ini di Jepang, bisa dikatakan bahwa ada satu dari beberapa orang yang tidak menikah sekalipun seumur hidupnya. Sebegitu sulitnyakah kehidupan pernikahan di Jepang? Tentu saja bukan itu alasannya. Orang-orang Jepang yang tidak menikah adalah mereka yang kehilangan kesempatan untuk menikah.
Apakah yang menjadi penyebab orang Jepang kehilangan kesempatan untuk menikah? Apakah ada kebijakan untuk mengatasi peningkatan orang-orang berusia paruh baya yang belum menikah?
Rata-rata usia menikah orang Jepang berubah
Rata-rata usia menikah orang Jepang semakin meningkat setelah perang dunia ke-2. Sekitar 50 tahun yang lalu, atau pada tahun 1970, rata-rata usia menikah untuk pria adalah 26.9 tahun, wanita 24.2 tahun, sepuluh tahun setelahnya naik menjadi 27.8 tahun untuk pria dan 25.2 tahun untuk wanita. Sekitar 25 tahun lalu, tepatnya 1995 rata-rata ini mengalami perubahan lagi di mana pria menjadi 28.5 tahun dan wanita 26.3 tahun. Kenaikan terus berlanjut di tahun 2015, di mana pria menjadi 29.8 tahun dan wanita 28.9 tahun.
Hasil survei terakhir di tahun 2019, rata-rata usia menikah semakin meningkat, di mana akhirnya pria Jepang melampaui usia 30 tahun, yaitu 31.1 tahun dan 29.4 tahun untuk wanita.
Peningkatan rata-rata usia menikah orang Jepang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, masalah keuangan atau ekonomi, perubahan pandangan dan pemikiran, kemajuan sosial kaum wanita dan lain sebagainya.
https://kepojepang.com/alasan-menunda-atau-tidak-menikah/
Persentase orang yang tidak pernah menikah mengalami perubahan
Satu dari empat pria Jepang & satu dari enam wanita Jepang tidak menikah
Di Jepang ada data “Persentase Yang Tidak Pernah Menikah”, yang menjadi salah satu indikator untuk mengetahui jumlah wanita dan pria Jepang yang belum menikah. Data persentase orang yang belum pernah menikah di usia 50-an ini diambil dari perhitungan rata-rata mereka yang belum menikah di usia 45-49 tahun dan 50-54 tahun. Banyak orang yang berusia 50-an belum pernah menikah, sehingga mereka sering dikategorikan sebagai tidak menikah seumur hidup. Oleh karena itu, data ini bukan untuk menghitung orang yang tidak menikah sampai dia meninggal, tetapi digunakan sebagai indikator untuk melihat seberapa banyak orang yang melajang selama dia hidup.
Adapun, persentase orang Jepang yang tidak menikah selama dia hidup terus menerus meningkat. Sekitar 70 tahun lalu pada tahun 1950, baik pria maupun wanita sekitar 1.5%, dengan kata lain 98 orang dari 100 orang sudah menikah.
Hal tersebut meningkat setelah 30 tahun berlalu, pada tahun 1985 baik pria maupun wanita naik menjadi 5%. Kemudian peningkatan drastis terjadi pada pria sejak tahun 1990-an dan wanita sejak tahun 2005. Pada tahun 2015, persentase untuk pria menjadi 23.4% dan wanita 14.1%. Jepang menjadi negara di mana 1 dari 4 orang pria dan 1 dari 6 orang wanita tidak menikah. Setelah ini pun, persentase ini dipastikan akan terus meningkat.
Pernikahan yang tidak bisa dianggap pernikahan
Ada pasangan yang memilih menikah tetapi pernikahannya tidak dianggap secara hukum (nikah siri). Pernikahan seperti ini sama seperti umumnya, tinggal bersama suami, bersama-sama membangun keluarga, kadang-kadang sampai memiliki anak juga, tetapi tidak mendaftarkan pernikahannya.
Di Jepang, ketika seseorang menikah, secara hukum suami istri harus memiliki marga yang sama, terkadang ada juga yang tidak mau mengubah marga mereka. Orang yang seperti itu, terpaksa memilih pernikahan tanpa hukum. Atau, ketika akan menikah lagi setelah cerai dan memiliki anak, tidak bisa mendaftarkan anak dalam daftar keluarga karena mempertimbangkan perasaan anak, atau ketika orang tua dan keluarga tidak menyetujui pernikahan, maka dipilihlah pernikahan siri ini.
Persentase yang tidak menikah meningkat, tetapi karena di dalamnya termasuk pasangan-pasangan yang menikah siri, mungkin persentase yang sesungguhnya jauh lebih rendah dari hasil perhitungan.
Banyak orang yang berpikir untuk menikah nanti saja
Bukan karena tidak ingin menikah, tetapi melewatkan kesempatan
Menurut survei tentang pernikahan di antara orang-orang yang belum menikah, secara umum, semakin muda usianya semakin banyak yang menjawab bahwa mereka ingin menikah di masa depan. Hampir 80% lebih anak muda yang berusia 20-30-an menyatakan harapannya untuk menikah.
Tetapi, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, usia orang Jepang yang belum menikah rata-rata 30 tahun, sehingga bukanlah hal yang aneh seseorang menikah di usia 40-an. “Saya ingin menikah, tapi bukan sekarang”. Orang-orang yang berusia 20-an dan 30-an yang berpikiran seperti ini pada akhirnya menunda waktu untuk memikirkan pernikahan secara serius, hasilnya persentase yang tidak menikah pun terus meningkat.
Orang yang tetap melajang di usia 40 dan akan menghadapi usia 50 memiliki kesempatan yang rendah untuk bertemu seseorang, kandidat yang dapat dijadikan pasangan pun akan berkurang. Selain karena fokus pada pekerjaan, mereka kehilangan kesempatan menikah karena mengurus orang tua atau diri mereka sendiri dan sebagainya, karena hal ini orang yang ingin menikah tetapi tidak bisa semakin meningkat.
Akhir-akhir ini dukungan untuk “Konkatsu, Pertemuan Perjodohan” sangat kuat
“Konkatsu” adalah kegiatan di mana orang yang memiliki keinginan untuk menikah bisa mencari pasangan menikah, sekarang hal ini sudah umum di Jepang. Orang yang tidak sempat bertemu pasangan di sekolah maupun di kantor, mereka akan mendaftarkan diri ke biro konsultasi pernikahan atau aplikasi perjodohan. Selain itu, untuk mencari pasangan yang tepat mereka juga berusaha mengikuti acara perjodohan yang diadakan kantor atau pemerintahan setempat.
Ketika mendaftarkan diri baik di biro pernikahan maupun acara perjodohan, kriteria pasangan dibedakan sesuai dengan usia, pekerjaan, hobi, pendapatan dan sebagainya. Dahulu, biasanya biro perjodohan ini diadakan untuk orang yang berumur sampai 30-an. Tetapi, sekarang banyak juga jasa perjodohan yang ditujukan untuk mereka yang berusia 40-an dan 50-an. Semakin banyak tempat-tempat pertemuan seperti ini untuk mendukung orang paruh baya yang tidak menyerah pada pernikahan.
Saat ini, tidak sedikit orang-orang yang kehilangan kesempatan menikah di usia 20-an dan 30-an berusaha sekali lagi untuk mencari pasangan hidup.
Kesimpulan
Pada dasarnya setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih menikah atau tidak, mendaftarkan pernikahan mereka atau tidak. Apabila sudah merasa bahagia walaupun tidak menikah, tentu saja tidak akan ada persoalan.
Akan tetapi, apabila tidak menikah dan tidak memiliki keluarga ada resiko kemungkinan hidup sendirian ketika sudah tua nanti. Secara keseluruhan, dalam kehidupan bermasyarakat pun meningkatnya orang yang tidak menikah dapat berakibat pada penurunan jumlah anak hingga populasi penduduk berkurang. Hal ini memicu rendahnya angka kelahiran dan meningkatnya penduduk usia lanjut, yang tentunya akan menimbulkan kemandegan dalam perekonomian dan kekhawatiran terhadap sistem jaminan sosial yang mungkin tidak akan berfungsi.
Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir, baik pemerintah maupun swasta menyediakan banyak jasa untuk mendukung mereka yang ingin menikah agar mencapai targetnya menuju pernikahan. Walaupun rata-rata usia menikah sudah melebihi usia 30 tahun, tentu saja masih bisa untuk menikah! Apabila orang-orang yang berusia 30-an dan 40-an yang berpikiran seperti ini semakin banyak, maka kehidupan masyarakat Jepang pun mungkin akan kembali bersinar.