Di Indonesia ada berbagai macam agama selain agama Islam, dan masing-masing memiliki kepercayaan serta adat istiadat dalam pelaksanaan upacara pemakaman. Misalnya, agama Islam mendoakan orang yang meninggal agar dituntun menuju Tuhan.
Di Jepang, banyak orang yang tidak memiliki kepercayaan dan agama tertentu, akan tetapi saat upacara pemakaman pengaruh agama Buddha terasa sangat kuat.
Para pelayat akan menunduk dan memejamkan mata mereka dengan kedua tangan merapat di depan dada. Lalu apakah yang dipikirkan para pelayat saat itu?
Pemakaman di Jepang menggunakan cara agama Buddha
Upacara pemakaman wajib dilaksanakan di kuil
Upacara pemakaman di Jepang sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Dalam agama Buddha, jasad orang yang meninggal dikremasi karena dipercaya bahwa pendiri agama Buddha, Buddha Gautama dikremasi setelah meninggal dunia. Di Jepang, sistem kremasi dimulai sekitar 1300 tahun yang lalu, sebelumnya hanya orang-orang yang berkedudukan tinggi saja yang jasadnya dikremasi, akan tetapi terus meluas hingga rakyat kecil.
Sekitar 400 tahun lalu, seluruh rakyat kecil harus menjadi jemaah kuil (danka/danke), dengan kata lain, mendaftarkan keluarga ke dalam daftar nama yang dikelola oleh kuil adalah suatu kewajiban. Sistem ini memang sudah dihapuskan, tetapi sistem pemakaman Jepang saat ini di mana satu keluarga memiliki makam untuk beberapa generasi di kuil-kuil lokal, kemudian memanggil Biksu dari kuil saat upacara pemakaman adalah peninggalan dari sistem danka.
Mendoakan keselamatan bagi jiwa orang yang meninggal
Dalam agama Buddha ada beberapa aliran keagamaan, selain itu tata cara dan proses pemakaman, jumlah serta jenis alat-alat yang harus disiapkan pun bervariasi. Di sisi lain, dalam agama Buddha secara umum orang yang sudah meninggal akan dipanggil “Hotoke (Buddha)”. Buddha adalah Buddha Gautama, dengan kata lain orang-orang yang sudah meninggal adalah anak didik Buddha sehingga diberikan panggilan Hotoke (Buddha).
https://kepojepang.com/buddha-dan-orang-jepang/
Dalam agama Buddha, upacara dilaksanakan di ruang pemakaman di mana Biksu akan membacakan naskah kitab sutra mengharapkan orang yang meninggal akan tidur dalam ketenangan. Bagi para pelayat yang bisa, mereka bersama-sama membacakan naskah kitab sutra, yang tidak bisa cukup merapatkan kedua tangan mereka di depan dada sambil berdoa.
Doa-doa yang diucapkan pun setiap aliran memiliki perbedaan, contohnya bisa di lihat di bawah ini.
・pikiran-pikiran jahat orang yang meninggal dihilangkan dan mendapatkan pencerahan seperti Buddha
・orang yang meninggal akan dilahirkan kembali di kehidupan berikutnya yang lebih baik
・orang yang meninggal akan menunggu sang Buddha untuk pergi ke “Sukhavati (Surga dalam salah satu aliran agama Buddha)”
Akan tetapi, saat ini tidak banyak orang yang memahami ajaran seperti apa yang aliran mereka jelaskan sehingga sedikit keluarga yang memiliki makam sendiri, saat ini lebih banyak yang mengikuti cara berdoa dengan merapatkan tangan dan berdoa sesuai dengan pikiran masing-masing.
Ada juga tata cara pemakaman sesuai ajaran Shinto
Tidak boleh menyinggung soal kematian
Di Jepang, jauh sebelum adanya agama Buddha ada agama Shinto. Dalam ajaran Shinto, kematian dianggap sebagai hal yang tidak baik dan tidak boleh disinggung (aib, kotor). Berdasarkan hal ini, sebelum adanya budaya kremasi, jasad rakyat kecil pada umumnya akan ditinggalkan di gunung, sungai, dan pinggiran jalan untuk menghindari “aib/kotor” berpindah ke dalam tubuh mereka yang hidup.
Sistem Danka yang sudah dijelaskan sebelumnya bertahan selama 240 tahun, sebagian besar keluarga mengikuti kuil Buddha dan mempercayakan semua proses pemakaman kepada pihak kuil. Oleh karena itu, proses pemakaman dengan sistem ajaran Shinto baru berjalan sekitar 150 tahun.
Orang yang meninggal menjadi Dewa
Saat ini diperbolehkan jika seseorang ingin melangsungkan proses pemakaman dengan sistem ajaran Shinto. Dalam ajaran Shinto, sejak dahulu kala sudah ada kebiasaan menyembah orang yang sudah meninggal sebagai Dewa. Untuk hal ini, mirip dengan ajaran agama Buddha di mana orang yang sudah meninggal menjadi Buddha.
Akan tetapi, karena dalam ajaran Shinto, kematian adalah suatu “aib/kotor”, maka jenazah orang yang sudah meninggal tidak dibawa ke kuil tempat Dewa berada, melainkan ke rumah duka, tempat upacara pemakaman dilaksanakan. Untuk menghilangkan “aib/kotor” dari raga orang yang sudah meninggal, pertama-tama dilakukan pembersihan oleh pendeta Shinto. Kemudian berdoa agar jiwa mereka mencapai surga dan menjadi Dewa.
Dalam ajaran Shinto, orang yang sudah meninggal dalam keadaan suci akan pergi ke dunia di mana para Dewa berada di Surga. Oleh karena itu, mereka beranggapan “dikarenakan mereka akan pergi ke dunia para Dewa, sebaiknya kita mengantarkan mereka dengan keberkahan” sehingga dikatakan bahwa tidak diperlukan air mata dalam upacara pemakaman agama Shinto.
Sama halnya dengan para pelayat upacara pemakaman agama Buddha, mereka akan merapatkan kedua tangan di depan dada, tetapi bukan hanya itu saja, mereka juga akan bertepuk tangan. Membungkuk 2 kali, bertepuk tangan 2 kali, membungkuk lagi sekali, ini adalah tata cara yang sama ketika berdoa di kuil Shinto.
https://kepojepang.com/dewa-shinto-dan-orang-jepang/
Akan tetapi, dalam upacara pemakaman, tidak diperbolehkan mengeluarkan suara saat bertepuk tangan agar tidak mengganggu orang yang sudah meninggal.
Akhir-akhir ini populer bagi yang tidak beragama (memakamkannya sendiri)
Sudah dijelaskan bahwa umumnya upacara pemakaman di Jepang dilakukan dengan tata cara agama Buddha, namun saat ini, ada juga yang menggunakan tata cara ajaran Shinto maupun agama Kristen, selain itu ada juga yang memilih dengan cara orang-orang yang tidak beragama. Terutama baru-baru ini, sistem pemakaman yang digunakan mereka yang tidak beragama menjadi populer. Umumnya, pemakaman dilakukan di rumah duka dan dipandu oleh agen pemakaman, kemudian orang yang sudah meninggal dan para pelayat melakukan perpisahan untuk terakhir kalinya di aula pemakaman dan ruangan individu. Tidak ada Biksu Buddha maupun pendeta kuil Shinto.
Meskipun demikian, Buddha dan Dewa ada dalam hati dan Budaya orang-orang Jepang. Walaupun upacara pemakaman menggunakan tata cara orang yang tidak beragama, sebagian besar pelayat akan berdoa dan merapatkan tangan mereka.
Di dalam pikiran orang-orang yang memejamkan mata, ada perpisahan dengan orang yang sudah meninggal, pengakuan, rasa terima kasih dan lain sebagainya. Mungkin perasaan mereka mengungkapkan “Jika dilahirkan kembali semoga kita akan hidup bersama lagi” atau “walaupun kau pergi ke langit, tetap awasi diriku”. Mungkin cara berpikiran seperti ini sedikit berbeda dengan agama Buddha dan Shinto.
Kesimpulan
Yang terakhir saya ingin sedikit membahas mengenai persiapan upacara pemakaman.
Di Jepang, akhir-akhir ini mulai banyak orang-orang yang ingin merencanakan proses pemakamannya sendiri. Perjanjian pengurusan pemakaman memang sudah ada sejak 100 tahun yang lalu, akan tetapi saat ini jauh lebih berkembang. Misalnya, mereka bisa memilih bentuk batu nisan yang diinginkan, memutuskan musik dan bunga untuk upacara pemakaman, menyiapkan daftar orang yang akan diundang sampai salam perpisahan, mereka menyiapkan semuanya untuk menghadapi akhir kehidupan. Tentu saja semua ini membutuhkan biaya.
Siapapun tidak ada yang tahu kapan mereka akan mati, untuk ketenangan keluarga dan diri sendiri, mereka melakukan persiapan menyambut akhir kehidupan yang pasti akan terjadi di masa depan, dan hal seperti ini mulai meluas di Jepang. Hal ini berhubungan juga dengan persentase lansia yang semakin meningkat.
https://kepojepang.com/alasan-orang-jepang-berumur-panjang/